Setelah saya coba ambil hal-hal yang menarik dari film sang pencerah, ternyata jadi hampir 4 halaman word :D. So, buat yang “males” baca yang panjang-panjang, saya bikinkan ringkasannya di awal.
Film Sang Pencerah bercerita tentang perjalanan hidup KH Ahmad Dahlan menghadapi kondisi agama masyarakat yang sudah dipenuhi mistik dan syirik. Dari beliau lahir, mulai berfikir tentang keanehan budaya masyarakat, menuntut ilmu, sampai berusaha mengembalikan wibawa Islam di wilayahnya.
- Ilmu adalah kunci untuk meningkatkan derajat dan pengaruh kepada sekitar. Ahmad Dahlan dua kali ke Makkah sebelum berumur 30 tahun untuk menuntut ilmu, sebelum melakukan perubahan signifikan.
- Kelaparan dan kemiskinan akan melahirkan kebodohan yang menjauhkan diri dari kebenaran. Memberi makanan dan pendidikan kepada orang miskin dan masyarakat sekitar adalah prinsip “Al-Ma’un” yang dipegang teguh oleh Ahmad Dahlan dan murid-muridnya.
- Kesabaran menyampaikan, karena walaupun yang disampaikan adalah kebenaran tapi tidak diiringi kesabaran pada akhirnya akan sia-sia. Kesabaran dibilang kafir oleh orang-orang yang berfikiran sempit hanya karena menggunakan alat-alat yang belum bisa dibuat oleh Muslim, adalah salah satu bentuk kesabaran penting yang dicontohkan Ahmad Dahlan.
- Berfikiran terbuka dan mengambil ilmu dari manapun asalnya selama digunakan untuk kebaikan. Ilmu perpetaan untuk menentukan kiblat dan cara untuk mengajar yang lebih “logis” didapat oleh Ahmad Dahlan karena visinya untuk kebaikan dan kemajuan umat. Begitu juga dengan memakai fasilitas-fasilitas yang baru hanya bisa dibuat orang non muslim.
- “Memudahkan” agama karena memang Islam itu bukan untuk menyusahkan. Hal-hal mistis dan budaya-budaya yang berbau syirik, bid’ah dan menyusahkan, seperti sesajian, yasiinan, tumpengan pada 7 harian yangmeninggal, diluruskan perlahan-lahan supaya tidak merusak silaturrahim.
- Menghargai perbedaan dan teguh pendirian. Tidak memaksakan pendapat apalagi melecehkan orang-orang yang lebih tua dan dihormati, tapi tidak pula mengikuti hal-hal yang bertentangan dengan prinsip adalah hal yang sulit tapi merupakan dasar penting dalam menyampaikan kebaikan.
- Berserah pada Allah disaat sulit, dan pentingnya “teman” yang memahami dan selalu setia mendukung 😉 istri yang shalihah, murid-murid yang berbakti. Bahkan Rasulullah SAW pun membutuhkan Khadijah untuk menyelimuti beliau ketika menerima wahyu, dan membutuhkan Abu Bakar untuk menemani beliau hijrah.
- Butuhnya kebaikan dan Islam akan barisan shaf-shaf yang tersusun rapi dalam berjuang. Kebaikan yang tidak terorganisir akan mudah dikalahkan oleh keburukan yang terorganisir. Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo dan beberapa organisasi lain sampai pada akhirnya mendirikan Muhammadiyah untuk mengkoordinir perjuangan dakwahnya.
- Jiwa besar pemimpin adalah kunci kedamaian umat. Masyarakat awam akan ikut pemimpinnya tanpa kadang-kadang mengerti benar apa yang diperjuangkannya. Oleh karena itu pemimpin harus bisa besar hati dan berfikkiran terbuka sebelum membuat keputusan yang bisa merugikan umat. Senang melihat bagaimana Penghulu Masjid Besar dengan besar hati mengakui kesalahannya dan akhirnya bersaing dengan fair, fashtabikhul khairat, denga Ahmad Dahlan. Teladan untuk pemimpin masa kini.
Mungkin masih banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dicontoh, jadi feel free untuk mengambil hikmah. Dibawah adalah ringkasan kecil film dan quote-quote menarik yang mudah-mudahan bisa membuka pikiran dan menginspirasi.
Sang Pencerah
Sebuah film sehat yang bisa membuka pikiran kita tentang kreatifitas dalam menyampaikan atau berdakwah. Yup, mungkin kalau dituangkan dalam satu kalimat, kalimat di atas bisa mewakili film Sang Pencerah.
Secara garis besar, film ini menceritakan perjuangan KH. Ahmad Dahlan sampai akhirnya mendirikan Muhammadiyah. Akting aktor dan aktris nya cukup baik. Lukman Sardi sangat baik menghayati perannya sebagai Ahmad Dahlan. Di dukung oleh aktor senior Slamet Rahardjo dan juga aktor gress Giring “Nidji”. Jalan cerita juga mengalir baik, konflik dan klimaks terasa. Tapi saya tidak akan membahas masalah ini terlalu banyak, selain karena saya memang bukan ahlinya 😀 , juga karena saya lebih tertarik pada hikmah dan pelajaran yang banyak sekali bisa didapatkan dari kisah perjuangan KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Latarnya mulai tahun 1868 di daerah Kauman Jogjakarta. Masyarakat pada saat itu tengah terpuruk, memposisikan sultan seperti dewa, politik tanam paksa Belanda yang menyebabkan kemiskinan, serta agama yang bergeser nilainya karena banyaknya tahayul dan upacara adat yang sudah melenceng dari Quran dan sunnah.
Pada umur 15 tahun, Muhammad Darwis (nama kecil Ahmad Dahlan), sudah kurang setuju dengan adat-adat yang menyimpang, sesajian dan tahayul. Ia malah mengambil makanan sesajian untuk dibagikan pada masyarakat miskin. Ia berdiskusi dengan bapaknya dan memprotes bahwa kebiasaan orang-orangn sudah tidak sesuai dengan sunnah. Bapaknya menjawab:
“Menghayati AlQuran dan sunnah Rasul itu pakai hati, bukan akal tok”.
“Kadang orang itu terpeleset bukan karena dia bodoh, tapi karena memakai akalnya saja”.
Darwis pun memutuskan berangkat ke Makkah, btw, beliau sudah fasih berbahasa Arab , wew. Di Makkah, Ahmad Dahlan muda bukan hanya berhaji, tapi juga sekaligus menuntut ilmu.
5 tahun kemudian Darwis pulang kampung. Setelah menuntut ilmu di Makkah, namanya diganti menjadi Ahmad Dahlan. Beliau menikah dengan Siti Walidah. “Harta yang paling berharga bagi laki-laki di dunia ini adalah, istri yang shalihah” pesan bapaknya (kata bang Rhoma juga :D).Ketika Bapak beliau meninggal, maka beliau lah yang mewarisi langgar kidul yang ditinggalkan bapaknya.
“Orang beragama adalah orang yang merasakan keindahan, tentram, damai, cerah. Karena hakikat agama itu seperti musik, mengayomi, menyelimuti. Agama, kalau kita tidak mempelajarinya dengan benar, itu akan membuat resah lingkungan kita dan jadi bahan tertawaan”.
Kejanggalan pertama yang beliau temui adalah kiblat. Kiblat masjid-masjid yang ada di Jogja ternyata hampir seluruhnya melenceng, ada yang menghadap ke barat, bahkan ada yang menghadap ke timur laut. Beliau menggunakan ilmu perpetaan yang beliau dapatkan ketika perjalanan ke Makkah. Tantangan utama yang beliau rasakan ternyata adalah sempitnya pemikiran ulama-ulama senior di sekitar beliau. Setelah susah payah meyakinkan mereka, pada akhirnya usul beliau dimentahkan karena beliau menggunakan peta yang notabene adalah buatan orang kafir. Menurut mereka, mengubah kiblat berdasarkan “petunjuk” orang kafir sama saja dengan kafir.
Beliau dan murid-muridnya tetap teguh di langgarnya dengan arah kiblat yang sebenarnya, bahkan saat menjadi makmum di masjid besar, mereka menghadap ke arah yang berbeda. Hal ini tentu saja membuat risih para pemuka agama yang merasa “kenyamanan” mereka selama ini terusik. Akhirnya mereka berbondong-bondong merobohkan Langgar Kidul milik Ahmad Dahlan.
Sempat putus asa dan hendak pergi meninggalkan daerah tersebut, Ahmad Dahlan akhirnya kembali membangun Langgar Kidul karena dukungan dari saudara dan murid-muridnya.
“Syekh muhammad Abduh: Agama islam tertutup bagi orang islam itu sendiri. Islam semakin jauh dari orang islam itu sendiri karena dipahami secara dangkal”.
Tapi karena kondisi Kauman yang belum kondusif, Sultan menyuruh dan membiayai Ahmad Dahlan untuk menuntut ilmu kembali ke Makkah pada tahun 1903 dengan harapan kondisi akan kembali mendingin.
Ketika kembali ke tanah air, Budi Utomo sudah mulai terbentuk dari kumpulan anak muda yang peduli pada pendidikan dan kesehatan, singkat cerita, karena cocok, Ahmad Dahlan pun bergabung dengan Dr Wahidin dan kawan-kawan.
Kaum bangsawan yang belajar di sekolah Belanda menganggap Islam sebagai agama mistis yang kuno. Ahmad Dahlan ingin merubah hal tersebut dan melamar untuk mengajar di sekolah Belanda. Tentu saja ini mengundang kontroversi lagi dan sampai dibilang kiyai kafir. Begitu juga muridnya, tapi dengan sabar Ahmad Dahlan memberikan pengertian, bahwa banyak sekali yang harus dipelajari ketika ingin mengajar, bukan hanya tentang isi plejarannya saja, tapi juga cara mengajarkannya.
“Kalau kamu mau belajar, kamu harus berprasangka baik.”
Keluarganya juga mempertanyakan hal ini, yang sempat membuat ia ragu dan patah semangat. Namun sang istri yang setia mendampingi, menyadarkan dan memberi semangat kembali.
“Aku sendiri tidak tahu, apakah yang aku lakukan itu benar.”
“Kalau kita tahu, kita tidak akan pernah belajar.”
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”(QS.Muhammad:7)
Ahmad Dahlan kemudian mendirikan madrasah ibtidaiyah diniyah Islam. Murid-muridnya diambil dari jalanan. Anak-anak yang kurang mampu, pengemis Kauman, dijemput ke jalan, dimandikan, diberi makan, kemudian diberi pendidikan.
Madrasah ini menggunakan meja, papan tulis dan bahkan biola (alat-alat yang masih dianggap buatan kafir dan yang memakainya berarti ikut kafir), yang tentu saja kembali meresahkan warga. Sampai suatu ketika, seorang kiyai besar mengunjunginya dari Magelang karena medengar ke-risih-an masyarakat.
K (Kiyai): Kenapa Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islam memakai peralatan orang kafir? Meja, papan tulis, biola. Ini semuanya dibuat oleh orang-orang kafir.
AD (Ahmad Dahlan): Maaf kiyai, boleh saya bertanya? Kiyai datang dari Magelang ke Kauman ini naik apa? Jalan kaki?
K: Saya tidak mau menyiksa tubuh saya dari Magelang ke Jogja jalan kaki.
AD: Kalau begitu naik apa Kiyai?
K: Ya naik kereta. Wong saya itu tidak bodoh. Hanya orang yang bodoh saja yang mau ke Jogja dari Magelang jalan kaki.
AD: Njih..njih..njih..Kalau begitu, hanya orang bodoh yang menyebut sekolah ini sekolah kafir.
K: Ha?
AD: Karena kereta api, perlengkapannya dibuat oleh orang kafir.
Pada akhirnya para kiyai mengajak Ahmad Dahlan untuk bertemu membahas metode “nyeleneh” yang dipakainya.
“Agama itu bukan rangkaian aturan2 yang bisa dipermudah atau dipersulit kang mas. Agama itu sebuah proses. Seperti udara pagi yang kita hirup secara perlahan-lahan ke tubuh kita, menyeegarkan hati dan pikiran kita. Bayangkan yang kita hirup itu angin puting beliung, tubuh kita bukan hanya hancur, tapi terhempas tak berdaya, terbawa arus tak tentu arah”.
“Apakah kita rela melihat umat kita lari dan menjauh dari agama, hanya karena kita salah memberikan pengertian?”
Setelah berusaha memahamkan para kiyai, Ahmad Dahlan mulai berfikir untuk membentuk sebuah perkumpulan sebagai bentuk nyata aktifitas sosial mereka. Melalui bantuan Budi Utomo, akhirnya lahirlah Muhammadiyah yang berarti pengikut Muhammad SAW.
“Kita itu boleh punya prinsip, asal jangan fanantik, karena fanatik itu ciri orang bodoh. Sebagai orang Islam, kita harus tunjukkan kalau kita bisa bekerja sama pada siapapun, asal, Lakum dinukum waliyadin. Agamamu agamamu, agamaku agamaku.”
Proses berdirinya Muhammadiyah juga tidak mudah. Persetujuan dari pemuka agama juga sulit didapat, bahkan sebagian salah sangka karena mengaggap Ahmad Dahlan ingin menjadi Residen. Residen dianggap akan memiliki kekuasaan melebihi pemuka agama setempat. Padahal sebenarnya Ahmad Dahlan hanya ingin menjadi Presiden Muhammadiyah J.
Bagian akhir film adalah bagian favorit saya. Ketika dua orang besar bertemu, bebesar hati dan saling mengakui kesalahan. Ahmad Dahlan dan Cholil Kamaludiningrat, Penghulu Masjid Besar Kauman yang selama ini selalu bertentangan dengan Ahmad Dahlan.
“Kadang manusia lebih memilih melindungi kewibawaannnya, daripada bertanya untuk apa sebenarnya kewibawaan yang dia punya itu bagi dirinya”.
“Semuanya ini untuk membuat kita sadar, akan tugas kita di dunia ini,menjadi khalifah, pemimpin bagi dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain”.
“Ketika kita memimpin orang lain, kita lupa bertanya, apakah kita sudah mampu memimpin diri kita sendiri”.
“Kita lakukan tugas kita masing2, melindungi kewibawaan agama kita. Kebenaran hanya milik Allah. Manusia seperti kita hanya ikhtiar”.
Pada akhirnya mereka sepakat melakukan tugas besar mereka dengan cara masing. Tugas untuk melindungi kewibawaan agama Islam.