30 menit pidato Obama yang ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia menghasilkan beberapa pelajaran, terutama untuk saya pribadi.
Barrack Hussain Obama, bagaimanapun juga harus diakui, adalah seorang politikus dan negarawan handal yang mempunyai kemampuan berpidato luar biasa.
Pidato-pidatonya begitu menggugah, memberi harapan, menyalurkan semangat, dan menarik untuk disimak. Obama cukup pintar menyelipkan kalimat dalam bahasa Indonesia dalam pidatonya dan membuat penonton bertepuktangan. Tapi pertanyaannya, apakah penonton mengerti apa yang disampaikannya dalam bahasa Inggris? Sebahagian besar sepertinya mangerti, karena masyarakat kita sudah pintar-pintar.
😀
Obama memang punya arti lebih untuk masyarakat dunia. Bahwa Obama adalah presiden kulit hitam pertama di negara adidaya yang (masih) diragukan kesetaraan hak dan toleransinya. Pun punya arti khusus untuk masyarakat Indonesia karena riwayat hidupnya yang pernah mengecap udara Jakarta sewaktu kecil.
Obama memberi harapan baru untuk dunia Islam ketika terpilih menjadi presiden. Salah satunya harapan akan adanya sikap kondusif di wilayah-wilayah konflik. Namun sepertinya kita masih harus menunggu harapan itu terwujud.
Orang-orang “besar” memang mempunyai kata-kata yang bisa mempengaruhi orang-orang banyak. Padahal mungkin saja kata-kata yang sama sering kita dengar dari orang yang tidak “sebesar” Obama. Tapi, ketika seorang berpengaruh yang mengucapkannya, dampaknya akan luas dan besar.
Hal-hal di atas mungkin sebagian dari hal positif yang bisa kita ambil dari Obama. Tapi kalau kita menggali sedikit, sebenarnya ada contoh-contoh yang lebih afdhal. Bagaimana Rasulullah memberi semangat sahabat-sahabatnya ketika perang dan sebaliknya, bahkan sahabat beliau pun memberi beliau semangat dan kemantapan hati ketika menghadapi tantangan-tantangan.
Kembali ke pidato Obama, salah satu yang ditekankan olehnya adalah, Indonesia harus menjadi contoh penegakkan toleransi dan pluralisme. “Bhineka Tunggal Ika” adalah kata-kata yang beberapa kali disebut Obama dalam pidatonya. “Walaupun berbeda tapi tetap satu” memang sudah terkenal di Indonesia yang mempunyai kekayaan perbedaan yang luar biasa.
Namun ada hal yang mungkin harus diluruskan mengenai pluralisme dan toleransi. Obama menyinggung tentang saling mengunjungi rumah ibadah, arsitek masjid Istiqlal yang seorang nasrani dan bahkan Obama langsung “praktek” dengan mengucapkan salam pada pembukaan dan penutupan pidatonya.
Kita sudah sama-sama hapal ayat terakhir dari surat alkafirun, yang artinya “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. Ayat ini menegaskan bahwa dalam hal aqidah, tidak ada ruang kompromi. Oleh karena itu umat Islam (kita) harus mengevaluasi bentuk toleransi kita.
Menjawab salam dari non muslim sebaiknya hanya dijawab dengan ucapan “wa’alaikum” seperti yang dicontohkan rasulullah saw. Menghadiri acara-acara keagamaan atau mengunjungi rumah ibadah non muslim belum tentu merupakan toleransi.
Toleransi adalah menghormati dan menghargai perbedaan yang ada. Kadang kita terlalu dangkal memahami makna toleransi, menganggap mengucapkan selamat pada hari besar non muslim adalah keharusan dalam toleransi dan orang-orang yang tidak melakukannya berarti tidak mempunyai rasa toleransi. Orang-orang yang tidak datang ke acara hari besar temannya yang beragama lain adalah orang-orang yang tidak menghargai pluralisme. Padahal bentuk toleransi yang lebih besar maknanya sangat sering dilakukan oleh umat Islam di Indonesia.
Banyak sekali umat muslim yang menghargai tetangganya yang non muslim, dokter-dokter muslim yang tanpa pilih kasih merawat pasien non muslim, dan yang paling gress, coba kita perhatikan para relawan yang terjun langsung ke daerah-daerah yang terkena bencana akhir-akhir ini. Wasior, Mentawai, Merapi. Betapa banyaknya relawan muslim yang membantu tanpa pandang bulu. Apakah itu tidak cukup menjadi bukti toleransi yang lebih nyata dan lebih besar maknanya?
Yah, walaupun masih punya banyak kekurangan, Indonesia memang masih layak jadi contoh penerapan toleransi.
Kembali ke presiden Obama, sebagai presiden negara adidaya. Tindakan lebih konkret dan besar, memang masih ditunggu. Terutama kepada Israel yang sering kali “dibiarkan”, Afghanistan yang masih bergolak, Irak yang tak kunjung damai, Iran yang dianak-tirikan, dan sebagainya. Sekalipun pidato-pidatonya luar biasa, rakyat amerika juga sedang menunggu realisasi dari janji-janji Obama yang tak kunjung datang. Amerika serikat sendiri pun masih belajar bertoleransi. Walaupun Obama sudah menyetujui pembangunan masjid di ground zero, tempat terjadinya peristiwa 9/11, tapi tetap saja masih banyak rakyat Amerika, yang belum bisa membedakan teroris dan Islam, menentang hal tersebut.
Mungkin tidak ada salahnya berharap, selama kita objektif, tidak mendewakan, tidak pula apatis 100%.Karena kerukunan antar umat beragama sudah dicontohkan Rasulullah saw sejak dulu.Proporsional sesuai aqidah kita.Sementara kita berharap, mari sekalian meningkatkan diri. Pemimpin masa depan adalah pemuda-pemuda saat ini yang selalu meningkatkan kualitas dirinya. Semoga lahir kepemimpinan Islam yang menjaga kedamaian dunia.
wallahu’alam