Posted in Books, My angle, Novel

Ranah 3 Warna

Hal pertama yang membuat saya tertarik dengan buku ini adalah ceritanya berlatar di Maninjau Sumatera Barat, kemudian dilanjutkan di Bandung. Karena saya berasal dari Bukittinggi dan menetap di Bandung, imajinasi cerita ini semakin nyata di benak saya 😀 Tapi, tentu saja hal itu tidak menjamin akan membuat kita betah berjam-jam memelototi huruf-hurufnya. Ada hal lain yang lebih penting, lebih kuat.

Gaya bahasa pengarang cukup berbeda, mungkin karena darah minangnya, membuat kita tergelitik untuk mendalami novel ini. Konfliknya cukup kuat dan terasa mendalam, membuat mata saya ingin cepat-cepat meloncat ke paragraf berikutnya saking tegangnya 😀 . Mungkin sedikit yang agak mengganjal hati saya adalah, klimaks utama yang terjadi jauh di tengah-tengah cerita, membuat akhir cerita jadi “kalah” menegangkan. Walaupun, bagian akhir dibumbui hal-hal lain yang membuat kening kita berkerut, sehingga tetap menarik untuk dibaca.

Alif Fikri (inisial namanya sama dengan sang pengarang buku :D) adalah seorang pemuda yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di sebuah pesantren Pondok Madani (PM). Keinginan untuk melanjutkan pendidikannya yang begitu tinggi, membuat ia berusaha mati-matian agar bisa lulus UMPTN. Ia menepiskan anggapan orang yang pesimis bahwa ia tidak akan lulus. Mantra yang selalu dijaganya semenjak berada di PM adalah “Man Jadda Wajada”, “siapa yang bersungguh-sungguh, pasti mendapat”.

Tantangan sebenarnya muncul ketika Alif akhirnya berhasil lulus di sebuah universitas negeri di Bandung. Mantra andalannya ternyata tak cukup lagi untuk menjaga semangatnya. Cobaan yang datang membuatnya terpuruk, sampai suatu ketika ia diingatkan tentang sebuah mantra yang dikenalnya, “Man shabara zhafira”, “Siapa yang bersabar akan beruntung”. Dua mantra kunci inilah yang membuat Alif bisa meningkatkan kualitas kehidupannya sebagai manusia. Mimpi-mimpinya yang tinggi pun akhirnya bisa dicapainya dengan jalan yang tidak ia duga-duga. Alif bisa hidup mandiri di Bandung dan bahkan kegigihan dan kesabarannya mengantarkan ia berpetualang ke Kanada.

Bandung, Amman Yordania dan  Saint-Raymond Kanada adalah Ranah 3 Warna yang dijelajahi Alif di masa kuliahnya. Namun, menurut saya, Bandung lah yang membentuk kepribadian Alif sesuai dengan mantranya. Konflik-konflik terberat yang membangun karakternya, terjadi pada saat dia berada di Bandung.

Kasih sayang orangtua yang tak pernah putus sangat kuat diceritakan dalam novel ini. Ayah Alif berjuang dengan caranya sendiri di tengah keterbatasan ekonomi. Rasa sayangnya mengalir deras kepada anak kebanggaannya. Mulai dari “si hitam”, “bebek”, sampai “surat rahasia” kepada Bang Togar, menguatkan bahwa memang “kasih orang tua itu sepanjang jalan”. Begitu juga keteguhan Amaknya dalam merawat anak-anaknya.

Satu hal yang menarik perhatian saya adalah, bahwa kesungguhan dan kesabaran pada akhirnya menuntun Alif pada penggalian potensi utamanya, sehingga perjuangan hidupnya menjadi fokus dan efektif. Potensi utamanya inilah yang senantiasa diasahnya, sehingga pada akhirnya “memuluskan” langkahnya untuk mencapai impiannya lewat jalan-jalan “ajaib”.

Kisah Alif memberikan beragam hikmah kepada pembacanya, membuat kita diingatkan kembali untuk berani bermimpi, setinggi-tingginya, dan bersemangat untuk mengejarnya dengan kesabaran. Petuah-petuah guru-gurunya di PM sangat melekat dan berguna dalam menjaga kesungguhan hidup. Novel ini memberi energi positif yang membuat pembaca mendapatkan semangat luar biasa dalam menghadapi tantangan.

 

“Hidupku selama ini membuatku insaf menjinakkan badai hidup, “mantra” man jadda wajada saja ternyata tidak cukup sakti. Antara sungguh-sungguh dan sukses itu tidak bersebelahan, tapi ada jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter, tapi bisa juga ribuan kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dalam hitungan detik, tapi bisa juga puluhan tahun.

Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung paling ujung. Sabar yang bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, bahkan seakan-akan itu sebuah keajaiban dan keberuntungan. Padahal keberuntungan adalah hasil kerja keras, doa, dan sabar yang berlebih-lebih.

Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. Tapi hanya dengan sabarlah takdir itu terkuak menjadi nyata. Dan Tuhan selalu memilihkan yang terbaik dan paling kita butuhkan. Itulah hadiah Tuhan buat hati yang kukuh dan sabar.

Sabar itu awalnya terasa pahit, tetapi akhirnya lebih manis daripada madu. Dan alhamdulillah, aku sudah meneguk madu itu. Man shabara zhafira. Siapa yang sabar akan beruntung.”

AF, di puncak Saint-Raymond

Happy Reading ! 🙂

Posted in Manga, My angle

Rebound amal (Slam dunk)

Melakukan amal itu mirip dengan melakukan sebuah offensive rebound di dalam permainan basket.

Offensive rebound adalah sebuah istilah dalam bola basket, artinya menangkap bola yang gagal dimasukkan ke ring oleh rekan setim pada saat melakukan penyerangan. Sehingga tim tersebut bisa kembali berusaha memasukkan bola.

Dari komik Slamdunk yang saya baca, Anzai sensei pernah memberitahu Hanamichi Sakuragi, tokoh utama manga yang jago rebound, tentang pentingnya sebuah offensive rebound.

Ketika pemain basket berhasil melakukan offensive rebound, ia menciptakan kesempatan pada timnya untuk kembali mencetak angka, di sisi lain ia mencegah lawan mendapatkan angka dari sebuah serangan balik cepat. Maka point tim nya tetap bertambah 2 poin, dan ia mencegah tim lawan menambah angka mereka sebanyak 2 poin. Jadi setelah ditotal, nilai dari offensive reboundnya setara dengan 4 poin.

Jika kita analogikan pada amal…

Ketika seseorang melakukan sebuah amal kebaikan, maka ia “memaksa” dirinya untuk mendapatkan pahala. Maka dengan amalnya tadi ia menutup kesempatan dirinya untuk melakukan keburukan dan menahan dirinya dari mendapatkan dosa.

So? Lets get 4 points!